Rabu, 03 September 2008

Kasih Ibu Tiada Tara

Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan
anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering
meratapi nasibnya memikirkan anaknya yang mempunyai tabiat sangat buruk yaitu
suka mencuri, berjudi, mabuk, dan melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Ia
selalu berdoa memohon, "Tuhan, tolong sadarkan anak yang kusayangi ini, supaya
tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat
sebelum aku mati." Tetapi, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya.

Suatu hari, dia dibawa kehadapan raja untuk diadili setelah tertangkap lagi
saat mencuri dan melakukan kekerasan di rumah penduduk desa. Perbuatan jahat
yang telah dilakukan berkali-kali, membawanya dijatuhi hukuman pancung. Diumumkan
ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan di depan rakyat desa keesokan harinya, tepat
pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu membuat si ibu menangis sedih. Doa pengampunan terus
dikumandangkannya sambil dengan langkah tertatih dia mendatangi raja untuk
memohon anaknya jangan dihukum mati. Tapi keputusan tidak bisa dirubah! Dengan
hati hancur, ibu tua kembali ke rumah.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat telah berkumpul
di lapangan pancung. Sang algojo tampak bersiap dan si anak pun pasrah
menyesali nasib dan menangis saat terbayang wajah ibunya yang sudah tua.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Namun setelah lewat lima menit
dari pukul 06.00, lonceng belum berdentang. Suasana pun mulai berisik. Petugas lonceng pun kebingungan karena sudah sejak tadi
dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Saat mereka semua
sedang bingung, tibatiba dari tali lonceng itu mengalir darah. Seluruh hadirin
berdebar-debar menanti, apa gerangan yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng
ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul
dan menggantikannya dengan kepalanya membentur di dinding lonceng.

Si ibu mengorbankan diri untuk anaknya. Malam harinya dia bersusah payah
memanjat dan mengikatkan dirinya ke bandul di dalam lonceng, agar lonceng tidak
pernah berdentang demi menghindari hukuman pancung anaknya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air
mata. Sementara si anak meraung-raung menyaksikan tubuh ibunya terbujur
bersimbah darah. Penyesalan selalu datang terlambat!

Pembaca yang budiman,

Kasih ibu kepada anaknya sungguh tiada taranya. Betapun jahat si anak, seorang
ibu rela berkorban dan akan tetap mengasihi sepenuh hidupnya. Maka selagi ibu
kita masih hidup, kita layak melayani, menghormati, mengasihi, dan
mencintainya. Perlu kita sadari pula suatu hari nanti, kitapun akan menjadi
orang tua dari anak-anak kita, yang
pasti kita pun ingin dihormati, dicintai dan dilayani sebagaimana layaknya
sebagai orang tua.

Bila hidup diantara keluarga ataupun sebagai sesama manusia jika kita
bisa saling menghargai, menyayangi, mencintai, dan melayani, niscaya hidup ini
akan terasa lebih indah dan membahagiakan.

Tidak ada komentar: